Menulis… Yoook!
Kalau Anda hanya berpegang pada teori-teori kepenulisan, tanpa mempraktekkannya langsung, kemungkinan sekali untuk menjadi seorang penulis hanya akan berakhir; mimpi ‘kali ye!
· Apa saja yang harus dipersiapkan oleh kita untuk menjadi seorang penulis?
Ya, betapa sering aku mendapatkan pertanyaan seperti ini. Padahal, jawabannya sederhana saja; mulailah menulis, menulis dan menulis. Tiga M!
Ini juga yang dikatakan Helvy Tiana Rosa kepada para penulis pemula, setiap kali FLP menyelenggarakan workshop atau bengkel kepenulisan.
Fahri Asiza, penulis senior yang mengaku mampu menulis novel hanya dalam tempo 3 (baca tiga!) hari, bilang begini;
“Menulis, menulis, menulis dan biarkan kata-kata mengalir, mengalir dan mengaliiiir!”
Seorang peserta bernada mencak-mencak, mengajukan protesnya kepadaku di acara seminar PSJ, UI.
· Menulis, menuliiiiis… Mengalir, mengaliir!
· Yah, itu
· Tapi bagi kami kalimat itu bikin tambah gak ngerti aja.
· Apanya yang harus ditulis?
· Trus, apanya yang bisa ngalir?
Wo, woo, woooi!
Jangan mencak-mencak dulu atuh, Sodara!
Kalau kita ingin menulis tentu sudah punya gambaran, sesuatu yang hendak kita tuliskan.
Tak mungkin kita hanya berjam-jam duduk di depan komputer. Ngeblank terus otak dan perasaan kita, tak tahu apa yang mau dituliskan.
Kalau memang demikian yang terjadi, sepertinya Anda harus segera banguuuun!
· Buka mata lebar-lebar, serap situasi sekitar, tunjukkan empati yang tinggi terhadap fenomena di sekeliling Anda.
· Sebab bila Anda digariskan untuk menjadi seorang penulis, inilah yang terjadi; ada sesuatu yang telah hadir di benak, perasaan dan jiwa kita.
· Sesuatu itu biasanya telah begitu ngurek-ngurek, berputar-putar di benak kita. Sehingga kita merasa akan sakit kepala apabila tidak segera menuangkannya ke dalam tulisan.
· Sesuatu itu sangat luar biasa pengaruhnya, sehingga dia akan memburu, menguntit ke mana pun kita melangkah.
Obsesi!
Inilah awal-mula atau modal paling utama untuk menjadi seorang penulis; dorongan dari dalam!
· Begitu banyak ide berseliweran di otak. Bagaimana cara menuangkan ide-ide itu ke dalam tulisan?
Mari, aku contohkan;
· Umpamanya kita mau menulis tentang anak kecil yang mengidap penyakit bawaan thalassaemia. Jelas
· Bagaimana perasaan si tokoh penyandang thalassaemia itu? Anak kecil juga punya perasaan dan pikiran.
· Ayo, tuliskan asal-muasal, kondisi keluarga, bersaudara, orang tua, kaum kerabat si tokoh.
· Bagaimana pandangan teman-teman si anak terhadap kondisinya?
· Apa mereka menaruh iba, simpati? Ataukah sebaliknya mengejek, meminggirkannya dari pergaulan? Bahkan menganggap penyakit tersebut sebagai kutukan?
· Bagaimana si anak sempat merasa putus asa, bahkan nyaris bunuh diri dengan minum obat penenang sebanyak-banyaknya.
· Atau sebaliknya dia justeru berjuang keras untuk bisa berdamai dengan takdir thalassaemianya. Bangkit dari perasaan tak berdayanya…
Lihatlah, cukup banyak bahannya bukan?
Nah, dari bahan yang terkumpul di atas itu pun sudah akan mengalirkan ribuan kata, membentuk kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf sejumlah dialog dan narasi. Apalagi kalau kita kemas dengan mengeksplorasi rasa bahasa, melalui kalimat-kalimat yang komunikatif. Sehingga para pembaca bisa merasakan, bagaimana kepedihan, tingkah laku dan duka derita tokoh yang kita bangun untuk tulisan tersebut.
Demikianlah yang aku lakukan ketika menulis novel Tembang Lara (Gema Insani Press, 2003). Tokoh sentralnya seorang penyandang thalassaemia. Konon, karena aku terlibat jauh di dalam novel ini, sepertinya tokoh itu menjadi hidup dan nyata. Banyak bikin ibu-ibu menangis pilu, seperti pengakuan Muttaqwiati melalui es-em-es
“Teteh ini, duuuh, bikin Titaq nangis sepanjang malam. Handuk Titaq sampe basah niiih…”
Dan Tembang Lara pun telah cetak ulang, mengucurkan royalti ke rekeningku dengan lancar. Insya Allah!
Menulis…, ayoook!
Tak usah dari yang njelimet-njelimet dulu. Menulislah dari hal-hal sederhana; hal-hal yang sering kita alami, pengalaman sendiri, teman-teman, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.
· Tapi
Oke… Bagaimana kalau dicoba dengan
Percaya tidak, sepucuk
Aku pun mengawalinya dari
Mungkin dengan pertimbangan itu pula, jika kemudian para redaksi memuat cerpen-cerpenku di majalah dan korannya. Walohualam.
Terakhir
Sebuah koper berisi pakaian lebaran, terutama dua bundel naskah novel (masih diketik si Denok, belum difotokopi!) dua lusin buku anak-anak yang sedianya akan ditawarkan ke pihak Diknas provinsi Jabar dan rapor si Butet. Raib dalam sekejap, disambar copet di stasiun Jatinegara.
Dalam tempo relatif singkat sejak dimuatnya
Seorang anak perempuan (10 tahun) mengaku anak indo, Amerika-Indonesia yang mukim di
Dan salah satu berkahnya dari
Bayangkan, gara-gara sepucuk
Apatah pula kalau cerpen, cerbung, novel yang dibukukan, kemudian diedarkan ke pelosok Nusantara, kalau mujur sampai juga ke mancanegara? Itu baru pengaruh di masa kini, sebab buku akan lama umurnya, lebih lama dari umur penulisnya sendiri.
Boleh jadi buku kita laris di pasaran, dicetak ulang, cetak ulang!
bagus lah
BalasHapus